Masih, Politik Berbiaya Tinggi

Oleh: Dr. Andi Desfiandi, SE., MA *)

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Tim Bravo-5 Provinsi Lampung



PERHELATAN akbar pilkada, terbesar dalam sejarah demokrasi dunia, pesta demokrasi di 171 daerah di Indonesia akan segera dilaksanakan Rabu (27/06/2018) besok.

Kendati demikian, secara umum urusan keluaran (output) pilkada guna mendapatkan kepala daerah produk pilkada yang berkualitas, bersih, jujur dan berintegritas sepertinya masih ada dalam “impian” walau reformasi sudah berlangsung hampir 20 tahun sejak 1998.

Demokrasi Indonesia dirasa masih sulit untuk mampu menghantarkan masyarakat di daerah meraih cita-cita reformasi melalui tangan-tangan amanah kepala daerah.

Hal tersebut bukan karena proses demokrasinya yang salah, namun sepertinya lebih kepada masyarakat serta para elit politik yang masih belum siap berdemokrasi dengan baik dan benar.

Reformasi saat ini mungkin sedikit kebablasan sehingga seolah tanpa rem dan saat disiapkan sedikit tambahan rem membuat sebagian dari kita bereaksi berlebihan.

Pertanyaan yang hingga hari ini masygul dijawab dan ternyata sarat permakluman publik mengingat ranahnya menghamba pada orientasi proses, kembali kepada pilkada yang akan berlangsung esok, apakah akan menghasilkan output pilkada yang sesuai dengan cita-cita reformasi?

Pilkada nampaknya hanya bisa efektif dan efisien di daerah yang relatif masyarakatnya sudah “kaya”, baik secara materi, secara intelektual dan secara  moral.

Tanpa kekayaan-kekayaan tersebut, sepertinya hampir mustahil politik biaya tinggi (high cost politics) bisa dieliminir. Kenapa? Karena biaya politik tinggi bukan hanya semata “biaya modal” penyelenggara yang harus menyiapkan anggaran amat besar, namun terutama para kandidat yang harus merogoh kocek sangat dalam agar mampu meraih simpati rakyat pemilih.

Juga, biaya sosial yang tinggi karena rentan terhadap gesekan sosial dan perpecahan akibat masih rendahnya kualitas pendidikan mayoritas masyarakat kita dan fenomena pertaruhan moralitas elemen bangsa, termasuk oknum kandidat, elit politik serta oknum penyelenggara pilkada.

Sebagai bagian kekuatan masyarakat sipil, kita semua harus mengembalikan semangat perjuangan reformasi terutama dalam menciptakan keadilan, kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.

Salah satunya, dimulai dengan memilih calon-calon pemimpin daerah kita dengan hati nurani dan akal sehat bukan karena embel-embel iming-iming uang, hadiah, janji manis, intimidasi, bahkan fitnah dan ujaran kebencian.

Masa depan kita, masa depan rakyat, semua berada pada pilihan kita sendiri di bilik suara 27 Juni (besok, Red). Jangan sampai kita acuh tak acuh, sebab ketidakacuhan kita akan menyengsarakan anak dan cucu kita kelak.

Semoga Allah memberi kita petunjuk dan kebenaran dalam menentukan siapa pemimpin kita yang paling amanah selama lima tahun ke depan, amin. (*)

*) Penulis adalah:

Ketua Yayasan Alfian Husin.

– Inisiator FGD DKI Lampung yang pernah mengusulkan Lampung sebagai alternatif calon lokasi ibu kota pusat pemerintahan negara Republik Indonesia pengganti DKI Jakarta.

– Salah satu dari 75 eksekutif muda pilihan di Indonesia berturut-turut pada tahun 1995-1996