Tsunami Kecil Ekonomi dan Buah Simalakama

Oleh : Dr. H. Andi Desfiandi, SE,. MA *)

 



Seberapa kuat APBN negara dan juga keuangan Pertamina untuk tetap mempertahankan harga BBM subsidi tidak naik hingga tahun 2019 ditengah harga minyak mentah dunia yang terus menanjak?

Walaupun subsidi energi sudah ditingkatkan dari Rp94 triliun menjadi Rp164 triliun sekalipun akan sangat sulit bagi pemerintah maupun Pertamina untuk bisa terus mempertahankan harga BBM subsidi.

Mengingat dalam APBN 2018 asumsi harga minyak mentah dunia USD 48/barel dengan kurs rupiah di Rp13.500/USD maka akan terjadi defisit yang cukup besar dari transaksi perdagangan Migas Indonesia. Itu akibat selisih kurs dan harga minyak dunia saat ini yang sudah menembus diatas USD 70/barel dan kurs dollar diatas Rp14.000.

Sedangkan konsumsi BBM nasional mencapai 1,7 juta barel/hari. Produksi nasional hanya sekitar 830.000 barel/hari. Dengan net import sekitar 870.000 barel/hari. Dapat dibayangkan berapa banyak tambahan defisit dari sektor Migas yang akan menggerogoti transaksi perdagangan nasional dan juga termasuk keuangan Pertamina.

Belum lagi tekanan ekonomi  dunia akibat “perang dagang” antara Negara 2 raksasa yang belum juga mencapai “titik dingin” yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi ekonomi nasional kita.

Pemerintah mau tidak mau harus lebih fokus mempertahankan fundamental ekonomi, baik makro maupun mikro untuk bisa bertahan dalam situasi “tsunami kecil” atas memanasnya ekonomi dunia. Hal itu agar terhindar dari “tsunami besar” yang mungkin bisa terjadi apabila ekonomi global belum juga “mendingin” dan “rebound” karena akan sangat berdampak kepada ekonomi nasional.

Walaupun secara makro fundamental ekonomi nasional masih dibilang positif dilihat dari beberapa indikator seperti PDB yang stabil di kisaran 5%, IHK terendah dalam sejarah yaitu 3.18%, pertumbuhan uang beredar yang masih positif dll. Namun tetap beresiko memburuk apabila ada kejadian luar biasa terutama pengaruh eksternal dan juga internal.

Pemerintah harus mampu mempertahankan surplus transaksi perdagangan dengan terus meningkatkan “surplus transaksi perdagangan” dari sektor non migas. Untuk menutupi “defisit transaksi perdagangan migas” akibat meningkatnya beban impor migas dikarenakan meningkatnya harga minyak dan menguatnya kurs dollar.

Meskipun diprediksi peningkatan kurs dollar tidak akan berlangsung lama karena juga akan merugikan ekonomi Amerika karena akan berdampak kepada daya saing harga produk Amerika di dunia, namun akan tetap mempengaruhi ekonomi domestik Indonesia. Dimana akan mempengaruhi harga-harga di dalam negeri dan tentunya juga akan menggerus “devisa” negara kita. Apabila transaksi perdagangan nasional tidak bisa dipertahankan untuk tetap surplus, apalagi kalau BI terlalu sering mengintervensi pelemahan rupiah dengan sering mengguyur pasar dengan dollar dari devisa negara (walaupun devisa negara kita saat ini masih tertinggi dalam sejarah yaitu mencapai 131 miliar dollar atau setara 8.3 bulan impor), dan terpaksa harus menaikkan suku bunga acuan untuk menghindari capital outflow walaupun akan berimbas kepada suku bunga kredit yang meningkat.

Pemerintah dan dunia usaha harus mencoba dengan gigih meningkatkan dan membuka pasar baru ekspor non migas. Agar pendapatan ekspor kita meningkat. Dilain pihak mencari mitra dagang untuk impor dengan Negara-negara yang tidak menggunakan mata uang dollar dalam transaksi perdagangannya (mengingat currency basket untuk perdagangan internasional tidak hanya dollar amerika).

Kemudian menggenjot industrilisasi di dalam negeri dengan memberikan insentif ataupun kelonggaran baik fiskal maupun deregulasi ekonomi lainnya. Kemudian APBN yang pertama kali dalam sejarah tidak mengalami perubahan (tanpa APBNP karena mungkin pemerintah yakin bisa tetap mempertahankan postur anggaran tahun berjalan) harus benar-benar dialokasikan kepada sektor-sektor produktif. Serta sector-sektor yang mampu mempertahankan daya beli masyarakat terutama sektor konsumtif.

Dan penggunaan APBN juga harus benar2 diawasi dan dikawal agar tepat guna dan efisien termasuk anggaran “Dana Perimbangan/transfer daerah” termasuk “Dana Desa” benar-benar digunakan dengan efektif dan efisien dan tidak dikorupsi atau diendapkan di bank.

Sumber-sumber pendapatan pemerintah lain seperti pajak mau tidak mau harus dioptimalkan termasuk juga sumber-sumber pendapatan lain seperti PNBP, bagi hasil dan lainnya. Walaupun pemerintah meyakini pendapatan negara akan tembus Rp2.000 triliun dan apabila tercapai maka merupakan pertama dalam sejarah APBN.

Pertamina dan juga PLN yang menerima subsidi negara juga harus benar-benar melakukan “Good Corporate Governance” agar pengelolaannya lebih profesional, transparan, akuntable dan sekaligus sehat.

Bisa dimaklumi bahwa dalam keadaan harga minyak dunia tinggi, kurs dollar tinggi, harga batubara tinggi dan sebagainya maka Pertamina dan PLN akan mengalami dampak keuangan yang makin buruk. Mau tidak mau mereka harus melakukan “corporate restructuring” secara keseluruhan baik “Portofolio”, “Financial” maupun “Organization”. Apabila tidak segera dilakukan maka beban keuangan mereka akan semakin berat dan sebagai BUMN strategis nasional maka mau tidak mau Pemerintah akan turun tangan untuk menyelamatkan.

 

Wallahualam

 

*) Ketua Yayasan Alfian Husin

Mantan Rektor IIB Darmajaya

Praktisi Korporasi & Bisnis

Pemerhati Ekonomi dan Pendidikan